Descha Vyana

I breath. I blink. I snap.

  • Blog
    • All
    • Thoughts
    • Travel
    • Review
    • Words
    • Beauty
  • Images
    • Snapshots
    • Analog
    • Steller
  • Works
    • Vyana Makeup
    • Voice Over
  • About
  • Contact

Sebutir Apel yang Tumbuh di Kayu Pinus

July 07, 2016 by Descha Vyana in Thoughts

Blog post ketujuh di #JuliNgeblog.

Kemarinan ini, aku nggak sengaja nemuin satu tulisan flash fiction lawas, yang aku bikin untuk sebuah project nulis bareng temen-temen Fiksimini tiga tahun lalu. Aku sampe lupa itu terus ending-nya jadi apa nggak. :))

Yang jelas, di project ini, masing-masing orang akan punya partner. Kemudian, masing-masing akan membuat sebuah 'fiksimini', yang kemudian akan dikembangkan oleh partnernya, ke dalam bentuk flash fiction. Kalau nggak salah inget sih begitu. Atau cuma salah satu yang bikin 'fiksimini' dan satunya bikin flash fiction, aku agak lupa. :))

Waktu itu aku berpasangan dengan Kang Tedy 'Bapoek' a.k.a @ksatria_cahaya. Lupa juga 'fiksimini' yang dia bikin kayak apa bunyinya, aku coba cari-cari belum ketemu. Coba besok-besok tak tanyain deh, kali-kali masih inget. Jadi, hari ini aku hanya akan posting flash fiction yang aku bikin aja, yah. Judulnya adalah yang jadi judul blog post ini. Enjoy!


Sudah seminggu belakangan ini Gepetto terpaksa bangun terlalu pagi karena suara berisik dari loteng. Masih setengah mengantuk, ia terhuyung-huyung menghampiri sumber suara itu.

“Masih belum bosan juga?” Pinokio yang sedang asyik membaca sambil tengkurap, sontak terduduk. Rupanya ia terlalu larut dalam dongeng yang dibacanya, sampai-sampai tak sadar Gepetto sudah dua menit lebih memperhatikannya.

“Oh, ini… Mmmm… Hehehe… Aku suka puteri yang ada di dongeng ini. Cantik…,” ujar Pinokio pelan. Pipinya bersemu, tampak tersipu. Gepetto tersenyum melihat anak laki-lakinya yang terbuat dari kayu pinus itu.

“Ayah… Mungkinkah aku bertemu dengannya di dunia nyata?” Pinokio membelai gambar puteri salju di bukunya. Menelusuri garis-garis wajah dan rambutnya.

“Ia hanya tokoh dongeng, anakku. Tak mungkin menemukan sosoknya di dunia nyata,”

“Tapi, Yah…”

“Sudahlah. Sepertinya kamu terlalu banyak berkutat dengan bukumu itu. Hampir seminggu belakangan ini Ayah tak melihatmu keluar rumah.”

“Baiklah…”

Pinokio mengikuti Gepetto turun dari loteng. Bayangan tentang puteri salju masih terus saja memenuhi benaknya. Tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang diam-diam menangkap kegelisahan di raut wajahnya lalu tersenyum penuh makna.

*****

Keesokan harinya, ada perasaan aneh yang menarik Pinokio untuk keluar rumah. Semacam ada yang berbisik di dalam kepalanya, mengatakan ia harus menuju bukit tempat biasanya ia bermain dengan hewan-hewan hutan yang menjadi sahabatnya. Ia pun bergegas turun, menghampiri dapur dan mengambil beberapa potong roti serta sayuran.

Lima belas menit kemudian, Pinokio sampai di bukit. Sontak, burung, kelinci, musang dan banyak lainnya datang mengerubutinya.

“Ke mana saja kau? Kami merindukanmu.” Seru seekor sigung sambil mengibas-ngibaskan ekornya.

“Hahaha. Aku di rumah saja. Ada sebuah buku dongeng yang sedang senang kubaca.”

“Whoa! Dongeng apa itu? Ceritakan pada kami!” Seekor kelinci muda tampak kegirangan, disusul suara hewan-hewan lainnya yang meminta Pinokio untuk mulai bercerita.

“Oke. Oke. Baiklah. Akan kuceritakan.” Pinokio mencari batu yang agak tinggi untuk tempatnya duduk dan memulai dongeng tentang puteri salju sambil membagikan roti serta sayuran yang dibawanya dari rumah tadi. Seluruh hewan mendengarkan dengan khusyuk. Beberapa di antara mereka tampak berbinar-binar, sesekali terperangah. Pinokio memang pandai bercerita.

Setengah jam kemudian, Pinokio mengakhiri ceritanya. Tiba-tiba seekor musang yang menyeletuk. “Hei, sepertinya aku kenal sosok yang kauceritakan itu!”

“Hah? Di mana kamu melihatnya?”

“Di gubuk kecil dekat sini. Dia memang baru tinggal di sini sejak…”

“Bawa aku ke sana sekarang!” Pinokio menyambar ekor si musang sambil setengah berlari.

“Hei! Iya, aku akan mengantarmu ke sana, tapi biarkan aku jalan sendiri!”

*****

Tak lama, sampailah mereka di depan sebuah gubuk kecil yang sederhana tapi tampak nyaman sekali. Halamannya ditumbuhi berbagai bunga dan sebuah pohon apel besar dengan ayunan di salah satu dahannya. Pinokio memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Jantungnya berdebar kencang.

Pintu terbuka perlahan, tampak seorang perempuan cantik muncul di baliknya. Pinokio terkesiap. Itu benar-benar Puteri Salju! Wajahnya, rambutnya, bahkan baju yang dikenakannya sama persis seperti yang ada di buku.

“Ah… Kamu!” Keduanya berseru berbarengan.

“Puteri Salju?”

“Ya. Aku Puteri Salju. Dan kau… Pinokio?”

“Bagaimana kau tahu namaku?”

“Aku membaca dongeng tentangmu. Kamu sendiri dari mana tahu namaku?”

“Hah?! Aku juga membaca dongeng tentangmu.”

Keduanya terdiam. Si musang hanya bisa terpaku dengan mulut terbuka, memperhatikan dua orang di depannya bergantian. Sepuluh detik kemudian, Puteri Salju memecah keheningan, “Err, bagaimana kalau kalian masuk dulu?”

“Ah, terima kasih. Tapi aku harus segera pulang. Aku harus membantu ayahku mencari kayu di hutan. Ayo, musang. Kita pulang.”

Belum sempat Pinokio melangkah, hidungnya tiba-tiba memanjang. Ya, dia berbohong. Sebenarnya dia sangat ingin masuk ke gubuk Puteri Salju, tapi terlalu malu. Pinokio membeku, hidungnya terus memanjang dan sebuah apel merah tumbuh di ujungnya. Apel itu kemudian jatuh tepat di depan Puteri Salju. Sedetik kemudian, Pinokio lari sambil menyeret si musang.

Di balik semak-semak, Peri Biru tersenyum-senyum sendiri sambil menulis pesan di secarik perkamen, kemudian menerbangkannya ke arah Puteri Salju. Di tengah kebingungannya, Puteri Salju mengambil kertas yang jatuh di kakinya itu dan membaca isinya, “Anak itu sangat mengagumimu, bahkan mencintaimu. Hanya mungkin ia masih terlalu malu. Selamat. Kamu telah menemukan pasangan hidupmu.”

*****

July 07, 2016 /Descha Vyana
#JuliNgeblog, Writings, Fiction
Thoughts
  • Newer
  • Older